A sal asupan gizinya diperhatikan, tak ada larangan ibu hamil untuk berpuasa.
Hanya memang, hal ini kembali lagi pada kondisi si ibu sendiri. Contoh, pada trimester pertama kehamilan banyak keluhan mual-muntah yang muncul, sehingga terasa berat dan ibu tak kuat menjalaninya, sebaiknya jangan berpuasa. "Agama, kan, memberikan keringanan bagi ibu hamil untuk tidak berpuasa," jelas dr. Dwiana Ocvianti, Sp.OG. , dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Namun, bila kondisinya
baik-baik saja, hingga usia kehamilan 9 bulan pun ibu boleh saja berpuasa. Namun, karena kehamilan di atas 6 bulan pertumbuhan janin makin pesat, otomatis perhatian terhadap asupan gizi harus makin cermat.
Tentunya, agar puasa dapat berjalan lancar, maka ibu harus membuang anggapan kalau puasa itu sebagai beban bagi wanita hamil. "Ada ibu yang senang puasa karena dia punya semangat dan menganggap puasa itu merupakan ibadah yang menyenangkan. Otomatis, saat menjalaninya pun akan terasa biasa-biasa saja," papar Ovie, sapaan akrabnya. Lain hal bila sebelum puasa ibu sudah membayangkan hal yang berat-berat. "Uh, aku bakal kelaparan, lemas, dan mual kalau puasa," misal. Maka puasanya pun akan terasa lebih berat. Bila memang diperkirakan bakal memberati, sebaiknya tak berpuasa saja. Sebab, tekanan psikologis ini bisa saja mempengaruhi kondisi ibu secara umum, stres umpamanya, yang dapat berpengaruh pada janinnya.
PERHATIKAN ASUPAN GIZI
Nah, bila ibu sudah memutuskan berpuasa, maka harus menjaga aktivitas fisiknya karena ibu hamil butuh cairan lebih. Dianjurkan tak beraktivitas fisik berlebihan dan menghindari jalan di bawah panas terik, soalnya akan menghabiskan banyak cairan tubuh. "Kan, mesti menunggu sore untuk mengganti cairan yang hilang." Padahal, bila janin kekurangan suplai cairan bisa menghambat pertumbuhannya. Bilapun ingin bepergian, pilih waktu di pagi atau sore hari.
Selain itu, ibu pun harus memperhatikan asupan gizinya. Perlu diketahui, puasa bukan berarti tidak makan dan tidak minum seharian, tetapi memindahkan atau mengubah waktu makan dan minum dari siang menjadi malam. Ovie menganalogikannya begini, saat tak berpuasa kita bebas makan di siang hari, lalu makan malam paling telat jam 20.00. Setelah itu, banyak yang tak makan lagi hingga tidur dan bangun di pagi hari. Makan baru dilakukan lagi pagi harinya sekitar jam 7-8. Bila dihitung, bisa mencapai 10-12 jam. Nah, saat puasa, kita tidak makan dan minum antara jam 4 pagi hingga jam 6 sore, berkisar 14 jam. Perbedaannya hanya sedikit.
"Bila waktu makan kita pindah menjadi malam hari, saya pikir bisa mengatasi asupan gizi yang diperlukan si ibu." Misal, waktu sahur, makanlah makanan 4 sehat 5 sempurna dengan memperhatikan zat-zat yang dibutuhkan ibu; dari protein, kalori, vitamin, seng, asam folat, dan sebagainya. Saat berbuka juga demikian. Nah, bila saat tak berpuasa bisa makan sehari tiga kali, acara makan yang ketiga bisa dilakukan setelah salat tarawih. Bila makan "berat" tak mungkin dilakukan, ibu bisa menggantinya dengan minum susu dan makan roti.
Memang, kadang agak sulit menerapkannya. Di malam hari, kala aktivitas fisik berkurang, ibu tak mudah lapar atau haus. Bagaimana mungkin asupan gizi bisa lancar kalau makan saja malas? Bila diperkirakan asupan gizi tak terpenuhi dan akan membahayakan janin, boleh tidak berpuasa. Apalagi kebiasaan yang sering terjadi, ketika berbuka atau sahur kita cenderung memakan makanan yang manis-manis dan melupakan makanan berserat. Pokoknya, asal nafsunya sudah tersampaikan saat berbuka, mereka mengabaikan makanan
yang lain. Padahal, kebanyakan makan manis dan tak memperhatikan 4 sehat 5 sempurna tidak baik untuk kondisi ibu dan janinnya. Untuk itu, ibu perlu menyadari hal ini. Bila tidak, orang di sekitarnya perlu mengingatkan.